11 Februari 2008

Bimbel oh bimbel...

Well, tulisan kali ini sudah cukup lama saya simpan di dalam benak saya.. walau tidak secara langsung, tapi ada benih-benih yang bisa dijadikan pelajaran dari sini..

Teman saya,, sebutlah bernama Hapsari, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai single fighter di Jakarta ini bekerja sebagai pegawai magang di salah satu lembaga penelitian. Karena gaji sebagai pegawai magang kurang memenuhi kebutuhan hidupnya, Hapsari akhirnya bekerja juga sebagai tutor di sebuah lembaga bimbingan belajar atau yang kerap kita sebut dengan 'bimbel'. Lembaga bimbingan tersebut memang tidak sebesar nama-nama bimbel besar, tapi katanya cukup banyak yang menjadi peserta didik (?) di sana. Hapsari sering kali mengeluhkan letihnya dia bekerja di tempat tersebut... Bukan karena jadwalnya yang padat, atau jarak menuju tempat bimbel tersebut, melainkan karena pelayanan yang 'wajib' dia berikan sebagai tutor. Setiap kali bertindak sebagai tutor di kelas, setiap anak siap membawa PR (pekerjaan rumah) dari sekolahan masing-masing untuk diselesaikan di bimbel tersebut. Hapsari memang tidak berkeberatan jika harus mengajarkan bagaimana seharusnya PR tersebut dikerjakan, tapi Hapsari mengeluhkan kenapa setiap kali mengerjakan, si anak yang membawa PR terkadang malah sibuk bermain bersama teman satu bimbelnya, akhirnya PR yang seharusnya dikerjakan oleh si anak, jadi dikerjakan sendiri olehnya. Hapsari pernah sesekali mengeluhkan hal ini kepada pihak yang berwenang di bimbel tersebut. Tapi pihak bimbel malah menyebutkan hal itu sebagai bentuk 'pelayanan' bimbel kepada kostumernya.

Mendengar hal ini hati saya miris, bukan hanya karena melihat Hapsari yang semakin lelah menghadapi anak-anak tersebut, tetapi juga melihat penyelewengan makna belajar oleh bimbel tersebut. Saya akui saya juga salah satu produk bimbingan belajar, waktu itu saya akan masuk perguruan tinggi dan berharap dengan mengikuti bimbel, saya bisa masuk perguruan tinggi negeri yang saya inginkan. Ketika itu saya belum paham benar apa yang dimaksud dengan belajar. Sampai waktu kuliah, saya dijejali dengan berbagai informasi mengenai bentukan belajar yang seharusnya. Menengok ke belakang dan setelah mendengar cerita dari teman saya tersebut, saya kembali memunculkan pertanyaan besar lainnya. Jika bimbel hadir untuk membimbing, lalu di mana peran sekolah? Setelah saya ingat-ingat ketika mengikuti bimbel, saya tidak dapat mencari saat-saat yang bisa dikatakan sebagai 'saat belajar'. Yang saya tahu saat mengikuti bimbel hanya terus menerus mengerjakan soal yang dimungkinkan akan keluar saat ujian. Menyedihkan.... saya kehilangan orientasi belajar yang sebenarnya.

Entah di bagian mana yang salah, yang jelas saya tidak mau hal ini terulang lagi kepada orang-orang di sekitar saya. Saat ini adik saya, Hafprilia akan menghadapi UAN setelah hampir 3 tahun bersekolah di SLTP, dan saya bahagia karena sekolah memunculkan kembali peranannya dalam mempersiapkan siswanya menghadapi ujian. Hafprilia setiap hari minggu diwajibkan datang ke sekolah didampingi oleh gurunya untuk menambah waktu belajarnya mempersiapkan ujian.

Bimbel atau sekolah mungkin pilihan yang dramatis saat menjelang UAN, walaupun saya yakin 70% memilih percaya bimbel untuk menghadapi UAN, tapi saya yakin,, masih ada pemikiran yang terbuka yang percaya belajar adalah sebuah proses yang tidak bisa dilewati hanya dengan berlatih mengerjakan soal-soal saja...

Tidak ada komentar:

:)