03 Maret 2008

Bakrie School of Management,, yak pandangan Indonesia teralihkan

Pendidikan saat ini mulai jadi perbincangan hangat, dari naiknya anggaran pendidikan sampai iming-iming berbagai calon pemimpin di berbagai daerah yang menjanjikan pendidikan gratis untuk para rakyat di daerah. Semua bicara pendidikan... tak terkecuali Bakrie Group. Merebut hati jutaan siswa SMU, dengan berbagai fasilitas pendidikan dan kesejahteraan yang diberikan, Bakrie Group melirik sektor yang sedang naik daun ini. Siswa SMU berprestasi dengan level tertinggi bahkan menerima uang saku senilai Rp. 1.000.000,- setiap bulannya.. Mencengangkan... Kalau tidak salah dengar mereka memberikan beasiswa kepada 33 orang yang mampu melewati tes. Dana yang cukup besar berani dikeluarkan oleh Bakrie Group melalui Yayasan Pendidikan Bisnis Indonesia (YPBI) buatan keluarga Bakrie. Saya tentu senang mendengar hal ini. Karena makin banyak orang yang tertarik untuk semakin mencerdaskan bangsa.. Tapi di sisi lain saya miris, mengingat masih banyak saudara-saudara kita di Sidoarjo sana yang membutuhkan dana besar semacam ini. Anda tentu masih ingat dengan kasus lumpur lapindo. Sekedar mengingatkan saya menyertakan gambar yang saya ambil dari sebuah situs. Tentu saja sebagai bagian dari mereka, saya sangat prihatin dengan keadaan yang sedang menimpa. Kabar terakhir saya masih mendengar ada beberapa masalah dana yang belum terselesaikan. Entah benar atau tidak, saya hanya berharap semua niat baik dari Bakrie Group sebagai komponen masyarakat yang menyadari pentingnya pencerdasan bangsa tidak sedang berusaha membodohi masyarakat untuk melupakan saudaranya sendiri yang berada di Sidoarjo.

Gambar dari : http://www.smh.com.au/ffximage/2006/09/28/470_sidoarjoriver,0.jpg .

Kasus Susu Formula, IPB VS BPOM...

Susu formula yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii yang saat ini sedang ramai dibicarakan mendorong saya untuk post sebuah tulisan hari ini. Nama bakteri tersebut muncul dan menjadi populer seiring dengan kepopuleran nama sebuah perguruan tinggi besar, IPB. Miris sekali mendengarnya, berhubung susu formula kerap digunakan oleh para ibu untuk memenuhi kebutuhan asupan bayi mereka saat ASI tidak berproduksi dengan baik. Tentunya berita ini menyebabkan beberapa anak berhenti mendapatkan asupan gizi dari sebuah susu, karena ibu mereka takut bakteri yang dimaksud terkandung di dalam susu formula bayi yang mereka pilih. Pasti gizi anak-anak Indonesia selama beberapa hari kebelakang dan entah sampai kapan menjadi kurang.

Sebenarnya yang membuat saya lebih sedih adalah ketika mengetahui reaksi dari pihak BPOM yang kurang sigap menanggapi hal ini. Beriring juga reaksi menkes yang meragukan hasil penelitian. Republik ini jadi semakin terkenal dengan ketidak-koordinasian-nya. Sebagai masyarakat awam kita tentunya mengharapkan sebuah informasi yang jelas dan menenangkan terkait dengan masalah kesehatan khususnya. Hal ini tentunya dapat tercipta dengan koordinasi yang baik antara IPB (sebagai penguji) dan BPOM (sebagai pihak yang berwenang). Bukan itu yang masyarakat dapatkan, tetapi malah adu statement yang sibuk membela diri masing-masing. Saya selaku masyarakat awam tentu melihatnya sebagai dagelan yang tidak memberikan solusi apapun.

Setelah terkatung-katung beberapa hari, BPOM bersuara dan mengungkapkan akan menyelidiki kandungan bakteri tersebut pada seluruh produk susu formula bayi untuk menenangkan masyarakat. Well, dengan statement ini BPOM menguatkan keberfungsiannya hanya sebagai badan yang bergerak saat masyarakat resah. Statement ini juga menyiratkan 'kalau sewaktu-waktu bertemu dengan kasus serupa, masyarakat resah saja dulu, baru kami akan meneliti'.. Saya tidak menyalahkan BPOM sepenuhnya tapi memang yang terjadi seperti itu. Susu formula yang dites secara sampling itu juga tentunya menandakan bahwa seluruh makanan yang kita konsumsi tersebut belum tentu semuanya diperiksa dan diteliti kandungannya oleh BPOM. Menyedihkan...

IPB sebagai institusi yang mengeluarkan 'pernyataan tanggung' (berhubung tidak langsung menginformasikan merk susu formula tersebut) juga sungguh mengherankan saya. Terus terang sampai saat ini saya belum pernah merasakan hasil penelitian IPB yang berguna bagi masyarakat luas lainnya. Sedangkan untuk hasil penelitian yang membuat khawatir masyarakat seperti ini dikeluarkan secara umum dan terbuka. Pertanyaan besar... (?). Saya yakin hasil penelitian seperti ini memang perlu diketahui masyarakat luas. Tapi yang saya pahami jika memang menyadari bahwa yang berhak mengeluarkan pengumuman nama produknya adalah BPOM, mengapa IPB tidak secara langsung melayangkan surat kepada BPOM terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan yang terkesan tanggung-tanggung ini? Jika IPB bermaksud baik, tentunya tidak akan ada keresahan masyarakat seperti ini.

Sudah saatnya kita belajar.. IPB dapat belajar bekerja sama. Dan Depkes khususnya BPOM dapat belajar lebih sigap menanggapi masukan.

:)